Selamat Datang di SI Predi

Tuesday, October 5, 2010

PENGANTAR BISNIS INFORMATIKA (BISNIS RING BACKTONE)

RING BACKTONE

Nada tunggu atau nada sambung yang sekarang lebih dikenal sebagai Ring Back Tone (RBT) telah menjadi fenomena unik di masyarakat. Ia dibayar, tapi tidak dimiliki. Ia juga dibayar, tapi tidak untuk didengar sendiri. Sungguh suatu hal aneh yang secara logika “mahasiswa anak kos” kurang bisa saya terima. Sama halnya dari sisi pembeli, sisi penjual yang dalam hal ini adalah si pembuat lagu juga tidak kalah aneh. Band-band lokal dari yang paling terkenal sampai band kemarin sore yang baru muncul selalu menghadirkan kode RBT pada media promosi yang melibatkan band mereka. Mereka menjual musik kualitas rendah (bit-rate rendah) bahkan lebih heboh dari mempromosikan konser mereka sendiri. Adhi Setyo, rekan sekelas saya di Teknik Telekomunikasi ITB, dan juga manager salah satu band kampus yang sedang naik daun di Bandung, pernah menyinggung ini pada salah satu presentasinya di kuliah bertemakan ekonomi dan revenue bisnis telekomunikasi.

Intinya, RBT yang kualitasnya rendah tetap menjadi pemasukan yang signifikan bagi operator X yang saat itu menjadi topik bahasan. Pendapat Adhi tersebut secara tak langsung mengindikasikan adanya perngaruh bisnis telekomunikasi terhadap bisnis music yang akan saya bahas selanjutnya.
Ketika memikirkan kekurangan RBT, saya berpikir tentang lagu berbit-rate rendah, tidak bisa didengar sendiri (yang mendengar orang yang menghubungi), tidak menjadi hak milik (tidak diunduh), tidak utuh lagunya, dst. Dengan kekurangan-kekurangan tersebut, masyarakat pengguna teknologi seluler masih “rela” membayar Rp7000-Rp9000 untuk lagu-lagu tersebut per bulannya. Ketika memikirkan uang 9000 rupiah, saya masih berpikir tentang makan siang sehari-hari. Tetapi ketika jumlah tersebut saya kalikan 50 juta sebagai asumsi total pengguna RBT seluruh operator, dengan setiap pelanggan dari jumlah itu mengganti RBTnya 1,5 kali perbulan, maka hasilnya akan lain.
9000 x 50.000.000 x 1.5 = Rp 675.000.000.000 !!
Angka berorde ratusan miliar muncul sebagai representasi uang yang berputar dari bisnis RBT ini. Jumlah yang cukup untuk makan siang saya seumur hidup ditambah mentraktir makan siang satu kampus selama beberapa tahun. Memang jumlah di atas penuh asumsi (walaupun sebenarnya saya mempunyai beberapa data angka fakta seperti sebuah operator yang meraup 18 miliar rupiah hanya dari satu lagunya “Kenangan Terindah” yang laris lewat RBT). Tetapi yang ingin saya bahas selanjutnya bukan tentang angka-angka tersebut, melainkan pemikiran saya terhadap masalah ini. Saya dengan yakin menyebut fenomena ini sebagai masalah. Bahkan mengalahkan masalah perang tarif operator yang mulai terjadi 3-4 tahun yang lalu, hampir bersamaan dengan munculnya RBT.

Sejarah Kemunculan RBT

Hingga tahun 2004 di Indonesia, kita masih mendengar suara nada tunggu yang khas. Nada dengan frekuensi standar yang digunakan di seluruh dunia sebagai indikator bahwa panggilan yang kita lakukan berhasil, tinggal menunggu orang yang kita hubungi mengangkat telepon/handphonenya, dan sesi komunikasi pun terjadi. Korea ternyata menjadi negara pertama yang menimplementasikan layanan ini pada tahun 2002. WiderThan yang merupakan perusahaan content provider kecil saat itu bekerja sama dengan SK Telecom, salah satu operator telekomunikasi tebesar di Korea Selatan. WiderThan kemudian dipercaya mengaplikasikan layanan ini di beberapa Negara seperti Filipina, India, Eropa, Amerika Serikat, dll, setelah pencapaian bisnis RBT yang sukses besar. Salah satunya adalah pendapatan SK Telecom yang mencapai US$100 juta pada tahun 2005 saja dari layanan RBT. WiderThan akhirnya diakuisisi RealNetworks Inc. dengan nilai mencapai US$350 juta setelah berhasil bekerja sama dengan 50 operator seluler di 25 negara.

Layanan ini mulai diimplementasikan di Indonesia sejak September 2004. Layanan RBT mulai muncul di setiap operator di Indonesia seperti NSP (Nada Sambung Pribadi) – Telkomsel, iRing – Indosat, Nada Tungguku – XL, RingGo – Mobile8, FlexiTone – Telkom Flexi, dll. Awalnya layanan ini diwacanakan oleh Sony Music Indonesia (sebelum merger) dan salah satu operator dengan maksud meningkatkan pendapatan label dan musisi karena menurunnya pendapatan dari penjualan album fisik (Kaset dan CD).

Masalah di Perkembangan Dunia Musik

Pembajak telah menjadi monster raksasa yang siap mencuri karya indah musisi dan melemparnya ke masyarakat dengan harga sangat murah. Bayangkan dengan uang lima ribu rupiah, saya bisa mendapatkan sebuah CD berisi belasan album dengan lagu-lagu berformat mp3. Banyak pendapat yang mengomentari fenomena pembajakan, apa saja penyebabnya, apa saja yang dimunculkan, apa saja efeknya, dll, tetapi saya memilih untuk merumuskan komentar sendiri.

Pembajakan bermula ketika berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi melahirkan format penyimpanan media (media storage) digital yang dapat dengan mudah diduplikasikan. Sebut saja mp3, WAV, WMA, mpeg-1 (CD), mpeg-2 (DVD), dll. Padahal dulunya penyimpanan media bertumpu pada teknologi analog seperti piringan hitam, magnetic tape, kaset, dsb yang sangat sulit dan mahal untuk diduplikasikan. Masyarakat, termasuk saya, akan rela membayar mahal untuk membayar jasa dan teknologi pembuatan media-media tersebut tanpa memperhatikan kemana uang tersebut mengalir atau bisa saya sebut based on thing on your hand. Sedangkan untuk masa sekarang, masyarakat tidak akan lagi rela, bahkan sebagian merasa rugi, untuk mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu yang bisa didapatkan sendiri dengan murah atau bahkan gratis. Ibaratnya, untuk apa saya beli bakso di restaurant seharga lima puluh ribu jika saya bisa dapatkan bakso yang jauh lebih banyak dengan harga lima ribu (beberapa bakso agak keras tidak apa lah). Logika apapun tampaknya bisa menerima hal ini.

Menurut survey ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia), pada tahun 2007, hanya 4,3% dari transaksi penjualan musik di Indonesia yang legal, artinya musik bajakan telah menguasai 95,7%! Jumlah yang jika menurut saya sangat menyakitkan. Cukup sakit untuk membuat seorang musisi menderita lahir dan batin hingga akhir hayatnya. Penjualan media fisik yang terus menurun membuat pelaku industri ini terus mencari cara untuk hidup dan bertahan. Menurut penulis, musik indie adalah salah satu bentuknya. Label besar semakin selektif dalam menginfestasikan uangnya pada rekaman band, dan musisi berusaha menjual musik langsung pada fanbase nya karena tidak ada jaminan pendapatan jika menjual media fisik melalui label besar. Di luar negeri, penjualan musik online menanjak. Hal ini didukung aspek legal & rights yang baik dan mantap. Ketidaksiapan akan hal tersebut yang menyebabkan model bisnis seperti itu tidak berkembang di negara kita. Akhirnya setelah pertama kali diperkenalkan, operator dan label berbondong-bondong menjual layanan RBT. Selain sederhana, layanan ini ternyata memang diminati oleh masyarakat. Pendapat yang hingga 40 miliar didapatkan suatu label musik besar pada tahun 2007.

RBT Bukan Lagi Sebuah Solusi Menyenangkan
Keuntungan diraih banyak pihak karena layanan ini. Musisi, label musik, dan operator telekomunikasi mendapat penghasilan yang bahkan menjadi pendapatan utama bagi beberapa pihak. Namun dibalik menggiurkannya layanan ini, muncul masalah kecil hingga besar bahkan bersifat sistemik, yaitu mundurnya industri musik nasional. Kasus penggugatan karena memotong lagu tanpa seizin penulis lagu sempat meramaikan dunia hiburan nasional. Masalah ini terjadi lagi-lagi karena tidak mantapnya sistem hokum di Indonesia. Saling lempar melempar kesalahan antara label dan operator, serta tidak jelasnya masalah hak milik lagu menjadi pembahasan yang cukup serius saat itu.

Selain itu, rendahnya kualitas musik yang ditawarkan membuat musikalitas dari musisi tidak bisa dibedakan. Harmonisasi dari sebuah lagu tidak terdengar jelas karena yang terdengar adalah suara vokalis dan sedikit background musik dengan progresi chord lagu yang “melayu” hingga membuat lagu tersebut menjadi hits. Akibat fenomena ini, musisi berlomba-lomba menciptakan lagu hits yang jenisnya itu-itu saja tanpa memperhatikan keindahan harmonisasi lagu. Musisi juga cukup menciptakan 1-2 hits lagu yang nantinya dipersiapkan untuk dijual melalui RBT. Hal tersebut sangat berbeda dengan masa lalu dimana seorang musisi atau sebuah band dengan hati-hati mempersiapkan konsep sebuah album dan menciptakan lagu-lagu indah yang berada pada koridor konsep tersebut. Hal ini saya anggap sebagai sebuah degredasi yang cukup parah.

Kualitas dari musisi sendiri pun dipertanyakan ketika cover dari album baru yang dirilis heboh dengan promosi kode RBT yang bisa dipasang dibeberapa operator. RBT telah menjadi pemasukan utama yang membutakan mata akan keindahan bermusik itu sendiri. Kedepannya hal tersebut yang penulis anggap sebagai masalah yang sistemik, dimana lagu yang berbit-rate rendah menjadi komoditas utama, bukan lagu berharmonisasi indah yang seharusnya menjadi pilihan utama.

Bagaimana Solusinya?

Ketika saya bertanya kepada diri sendiri seperti apa solusi yang tepat untuk fenomena ini, saya menjawab spontan. RBT seharusnya bukan lagu, tetapi ekspresi kata-kata atau suara singkat yang dibuat sendiri oleh penggunanya. Misalkan, jika saya seorang pelawak, saya akan rekam sebuah cerita lucu singkat yang bisa menghibur siapa saja yang menelepon saya. Contoh lain, jika saya sedang bingung ingin menghabiskan weekend dengan kegiatan apa, saya akan rekam suara saya seperti ini, “hmm, kebetulan kamu nelpon! Saya bingung entar malem mau kemana? Ada rekomendasi film bagus atau tempat makan oke??”. Jika saya sedang rapat dan butuh waktu untuk keluar dan mengangkat telepon, saya akan rekam, “maaf, saya sedang rapat penting, agak lama nih diangkatnya, kalau nggak diangkat-angkat berarti bossnya lagi marah, jadi gak bisa keluar, hehehe”.
Dengan fasilitas tersebut, setiap orang bisa mengekspresikan dirinya lebih bebas dan lebih “gue banget” dibandingkan dengan memperdengarkan lagu-lagu yang belum tentu si penelepon suka. Sama halnya dengan dunia maya. Mungkin Anda akan lebih suka “nge-tweet” seenaknya di Twitter dibandingkan dengan memajang poster band favorit di album foto Facebook anda. Dari segi teknologi pun praktis kendala yang dihadapi hampir tidak ada. Secara teknologi, ide ini hampir tidak ada bedanya dengan pesan mailbox yang dulu sempat booming. Perbedaannya hanyalah pada substitusi nada tunggu dengan suara tersebut. Ide ini saya rasa pas diimplementasikan mengingat teknologi selular nasional yang belum akan meningkat secara signifikan beberapa tahun mendatang. Jika tiba saatnya implementasi teknologi 3G secara menyeluruh bahkan 4G, akan ada aplikasi-aplikasi lain yang bisa dielaborasi untuk meningkatkan pendapatan.Dari sudut pandang musik, memang keberadaan RBT ibarat pisau bermata dua. Jika terus dipertahankan, maka bisnis ini terus menggerus kreativitas dan musikalitas musisi. Tetapi jika kemudian ditiadakan, akan menggerus pendapatan dari musisi yang praktis kehilangan pendapatannya karena pembajakan. Namun, lagi-lagi teknologi telekomunikasi bisa menjadi penyelamat, tetapi bukan lewat RBT. Handset yang semakin canggih dikombinasikan jaringan yang semakin mantap bisa menjadi sebuah toko musik baru yang proses distribusinya bukan lagi lewat toko-toko kaset atau cd, tetapi wireless. Indikasi meningkatnya kualitas jaringan dan makin besarnya bandwidth yang tersedia untuk teknologi selular telah terlihat. Memang dahulu masalah tersebut (bandwidth di Indonesia) menjadi kendala toko-toko musik online yang ingin menjual lagu via internet. Peningkatan kualitas jaringan mutlak dilakukan, terlepas dari solusi yang saya pikirkan, karena tantangan layanan multimedia masa medatang lebih besar mengingat video telah menjadi bentuk content yang diminati. Dengan begitu, industri musik yang kian suram di Indonesia bisa diberi napas baru sambil membenahi masalah utama yang ada, yaitu pembajakan. Di luar sana, riset juga terus berkembang mengenai teknologi audio, dimana standar storage untuk data, khususnya musik, terus mengalami penyempurnaan terutama dalam bidang proteksi terhadap duplikasi.Hingga waktu itu datang, mudah-mudahan para musisi tetap bisa berkarya dan hidup dari karyanya dengan model bisnis yang baru, salah satunya dengan penjualan musik lewat handphone.

Pada era ekonomi serba kreatif (seperti kata banyak pakar), layer aplikasi seperti RBT masih akan menjadi garda terdepan sebuah perusahaan untuk mengeruk keuntungan. Namun perubahan trend bisnis telekomunikasi yang semakin konvergen tidak boleh membuat pelaku usahanya lupa diri dengan berkeinginan menguasai keseluruhan layer dimulai dari bisnis infrastruktur (physic/terminal) hingga bisnis aplikasi. Perlu ada segmentasi usaha yang jelas dan fokus pada masing-masing segmen yang dimasuki. Maksudnya adalah operator telekomunikasi tidak perlu menguasai segala jenis layanan yang diberikan pada pelanggan. Perlu diberikan insentif pada content provider yang secara independen bisa menghasilkan layanan-layanan atau produk baru dan kreatif tapi tetap menjadi mesin uang. Bukan produk instan yang bisa membodohi masyarakat dan menghambat industri lain dan hal-hal vital lainnya. Keseimbangan dan kesinambungan di masing-masing layer bisnis telekomunikasi (infrastruktur, network operator, service provider, content provider) akan membawa pada majunya industri telekomunikasi di Indonesia dan perekonomian di Indonesia pada umumnya.

No comments:

Post a Comment